Upacara Ritual larung sesaji di Telaga Sarangan tetap menarik perhatian masyarakat luas. Buktinya, ribuan wisatawan pasti memadati kawasan wisata andalan di Magetan itu untuk menyaksikan tradisi ritual budaya yang diselenggarakan tahunan itu.
Upacara Labuh Sesaji Telaga Sarangan
Upacara larung atau labuh sesaji di Telaga Sarangan dimulai dari Pendopo Kelurahan Sarangan, tempat disemayamkannya tumpeng Gono Bau. Usai dilakukan ritual doa di pendopo, tumpeng Gono Bau yang terdiri dari tumpeng nasi agung dan tumpeng hasil bumi itu diarak rombongan prajurit ke telaga. Setelah itu, tumpeng diarak ke tengah telaga dan kemudian ditenggelamkan (dilabuh).
Tradisi ritual larung sesaji merupakan salah satu upacara masyarakat sebagai wujud rasa syukur kepada yang maha Kuasa yang konon sudah dilakukan sejak lama. Budaya ritual di telaga ini sarangan bertujuan sebagai ungkapan rasa syukur atas kehadirat Tuhan YME berkat limpahan nikmat yang telah diterima berupa telaga Sarangan yang telah memberikan penghidupan bagi warga Sarangan.
Pada umumnya, sesaji yang akan dilarungkan di telaga berupa Tumpeng Agung atau tumpeng berukuran besar setinggi 1 hingga 2 meter yang terbuat dari beras putih atau beras merah dan tumpeng hasil bumi.
Tradisi larung sesaji yang diadakan secara sederhana itu dilaksanakan setahun sekali setiap Ruwah (salah satu bulan dalam penanggalan Jawa) atau menjelang datangnya bulan suci Ramadan. Atau setiap bulan Sya’ban pada hari Jum’at pon hingga minggu kliwon.
Biasanya, sebelum upacara larung sesaji, pemkab setempat juga menggelar berbagai acara. Seperti lomba ski air, lomba layang-layang, budaya tradisional, hingga hiburan rakyat. Sarangan benar-benar menjadi pekan hiburan bagi wisatawan dan masyarakat saat Upacara labuh sesaji.
Dikawal Pasukan Berkuda, Tumpeng Diarak Keliling Telaga
Suara terompet dan dentum gong terdengar saling bersahutan dari dalam Pendopo Balai Desa Kelurahan Sarangan. Seiring dengan bunyi gamelan khas reog itu, terdengar pula sorakan atau biasa dikenal dengan suluk mengiringi bunyi gamelan. Sesekali suluk itu terdengar keras dan cepat, namun sesekali terdengar lambat dan samar-samar.
Suasana kian riuh ketika dua set reog itu mulai dimainkan. Perpaduan dentum gamelan, dan suluk, semakin menambah semangat penari memainkan reognya. Ratusan warga yang mulai merapat ke pendopo, semakin menambah riuhnya suasana. Kalau reog sudah mulai dimainkan, berarti acara tumpeng Gono Bau akan segera diboyong.
Butuh waktu agak lama untuk persiapan boyong tumpeng Gono Bau ke telaga. Pasalnya, para sesepuh desa harus mengatur pasukan pengawal tumpeng. Mulai dari pasukan berkuda. disusul cucuk lampah, raja dan permaisuri, serta Bagus Dyah.
Di belakang tumpeng, masih ada tiga barisan pasukan pengawal. Yakni para sesepuh desa, putri domas, talang pati, dan prajurit kejawen. Barisan diakhiri dengan seni Reog. Susunan barisan pengawal tumpeng itu sesuai dengan barisan pasukan Mataram ketika hendak melakukan labuh sesaji dulu.
Nuansa budaya adat kerajaan memang tampak kental dalam acara itu. Seperti pasukan berkuda yang dilengkapi dengan pelana. Sedang penunggangnya berpakaian ala kerajaan seperti blangkon, jarit, baju beskap, dan keris tanpa menggunakan sandal.
Selain itu, simbol raja dan permaisuri yang diperagakan Kepala Kelurahan dan istri, menambah kesan nuansa keraton. Ritual seperti ini telah dilakukan sejak tahun 1948, atau tiga tahun setelah negara kita merdeka.
Semua perlengkapan ritual labuh sesaji itu disiapkan warga setempat. Seperti tumpeng beras yang ketinggiannya bisa mencapai 2,5 meter dan diameter tiga meter. Untuk membuat tumpeng itu, menghabiskan beras sekitar 50 kilogram. Beras tersebut dimasak oleh sepuluh orang pria dewasa mulai pagi hingga sore hari. Supaya tumpeng itu bisa berdiri kuat, maka harus dicampur beras ketan.
Selain tumpeng nasi, tumpeng gono bau juga terdiri dari tumpeng hasil tanaman. Tumpeng itu dibuat lebih kecil dari tumpeng nasi. Bahannya, berbagai hasil tanaman. Mulai dari jenis sayuran, kacang-kacangan, hingga buah-buahan. Uniknya, bahan tumpneg itu dicari dari kebun dan ladang milik warga setempat. Namanya juga gono bau, artinya kekayaan tanah sendiri. Jadi ya harus milik sendiri dan bukan beli di pasar. Itu pun harus dipilih yang terbaik, karena untuk persembahan.
Meski kental dengan ritual adat, hal itu bukan disebut syirik. Ritual itu hanya sebagai simbol bagaimana warga Sarangan mensyukuri nikmat yang diberikan Yang Maha Kuasa. Dan rasa syukur itu diwujudkan dengan berbagi hasil kebun dan makanan yang telah diolah. Semua ini hanya sebagai wujud rasa syukur warga sarangan.
Setelah diboyong dengan pengawalan ketat ala pasukan keraton, tumpeng dibawa ke tengah telaga. Dibutuhkan dua speed boad untuk mengantar satu tumpeng ke tengah telaga. Sebelum dilabuhkan, tumpeng itu diarak keliling telaga. Hal itu justru memantik sorak dan lambaian tangan ratusan pengunjung yang memadati pinggir telaga. Hingga akhirnya, usia dibacakan doa oleh sesepuh desa, tumpeng itu dilabuhkan.
Menurut cerita, kedua tumpeng itu dipersembahkan kepada Ki Pasir dan Nyi Pasir, yang menurut legenda merupakan pembuat Telaga Sarangan. Itu kisah yang dipercaya masyarakat, yang pasti kita niatnya hanya bersyukur.
Wisata Alam dan Budaya
Ritual lelabuhan sesaji cukup menyedot perhatian wisatawan. Mereka terlihat sangat antusias mengikuti semua rangkaian upacara itu. Upacara Ritual labuh sesaji di Telaga Sarangan juga punya adat yang mirip dengan keraton. Ada pasukan perang berkuda, putri domas, punggowo, dan sesaji.
Pariwisata merupakan salah satu ikon utama Magetan. Karena itu, pihak pemerintah kabupaten Magetan Jawa Timur akan terus melakukan pengembangan dan inovasi bidang pariwisata dengan berupaya untuk memadukan antara wisata alam dan budaya untuk menarik wisatawan.
Pengembangan wisata alam dan budaya diharapkan mampu meningkatkan jumlah kunjungan wisata ke Magetan. Terutama pasca dibukanya akses jalan tembus Karanganyar-Magetan. Perpaduan wisata alam dan budaya, pengembangan objek wisata baru, dan peningkatan kualitas objek wisata sudah ada akan menjadi prioritas untuk meningkatkan jumlah wisata yang datang.
Tercatat sekitar puluhan ribu pengunjung yang menyaksikan upacara labuh sesaji. Jumlah tersebut belum termasuk warga Kelurahan Sarangan yang juga ikut upacara. Larung sesaji ini memang kita konsep sebagai wisata budaya, sehingga tidak saja menjadi daya tarik wisatawan, tapi juga warga setempat.