Serat Dewa Ruci adalah salah satu karya sastra Jawa yang terkenal, berisi lakon atau cerita yang menceritakan perjalanan spiritual dan pencarian diri dari tokoh Werkudara (atau yang lebih dikenal dengan nama Bima dalam epos Mahabharata). Salah satu versi dari kisah ini diterbitkan oleh Tan Khoen Swie pada tahun 1926 di Kediri, yang menyajikan cerita tersebut dalam bentuk tembang Macapat. Tembang ini digunakan sebagai media untuk menyampaikan kisah dengan alunan musik tradisional yang khas, khususnya tembang Dhandhanggula dan Sinom.
Lakon Dewa Ruci yang dipublikasikan oleh Tan Khoen Swie menjadi salah satu potongan penting dalam pengembangan sastra Jawa modern, karena selain berisi nilai-nilai spiritual dan moral, cerita ini juga menggambarkan pencarian makna hidup yang mendalam. Dalam cerita ini, Werkudara melakukan perjalanan untuk mencari air yang bisa memberi kehidupan—air yang melambangkan pengetahuan, kebijaksanaan, dan kesadaran diri.
Pencarian Air Pemberi Kehidupan
Dalam cerita Serat Dewa Ruci, tokoh utama Werkudara dihadapkan pada pencarian yang sangat simbolik—yaitu pencarian air pemberi kehidupan. Pencarian ini bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan spiritual yang menggali makna kehidupan, pencapaian kesadaran diri, dan pencerahan batin. Air yang dicari oleh Werkudara di sini melambangkan kekuatan yang dapat menyucikan, memberi hidup, dan memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang dunia.
Air ini bukanlah air biasa, melainkan simbol dari kearifan yang mendalam, yang hanya bisa diperoleh melalui pencarian spiritual yang panjang. Dalam perjalanan ini, Werkudara menghadapi berbagai rintangan dan ujian, yang mengajarkannya tentang kesabaran, ketekunan, dan kerendahan hati. Proses pencarian ini juga menjadi pengingat bagi pembaca atau pendengarnya bahwa kebijaksanaan sejati sering kali hanya dapat ditemukan melalui perjuangan batin dan pengendalian diri.
Lakon dalam Bentuk Tembang Macapat
Salah satu ciri khas dari Serat Dewa Ruci yang diterbitkan oleh Tan Khoen Swie adalah penggunaan tembang Macapat sebagai media untuk menyampaikan cerita. Macapat adalah bentuk puisi tradisional Jawa yang terdiri dari beberapa jenis tembang, yang masing-masing memiliki aturan irama dan suku kata tertentu. Dalam buku tersebut, Tan Khoen Swie memilih tembang Dhandhanggula dan Sinom sebagai tembang utama.
- Tembang Dhandhanggula digunakan untuk menggambarkan situasi yang lebih berat dan serius, memberikan nuansa dramatis dan mendalam pada cerita.
- Tembang Sinom biasanya digunakan untuk menyampaikan suasana yang lebih ringan dan menggambarkan kegembiraan atau kehangatan.
Penggunaan kedua jenis tembang ini memberikan warna dan variasi dalam menyampaikan kisah Serat Dewa Ruci, menjadikannya lebih hidup dan terasa lebih menyentuh bagi pendengarnya. Setiap bait dan irama Macapat membawa kedalaman emosi dan memberikan pengalaman yang mendalam bagi siapa saja yang menyimak.
Lakon Dewa Ruci dalam Wayang Kulit
Selain dalam bentuk tembang Macapat, kisah Serat Dewa Ruci juga dipertunjukkan melalui wayang kulit, yang lebih menekankan pada aspek visual dan dramatis. Wayang kulit adalah seni pertunjukan tradisional Jawa yang menggunakan boneka kulit yang digerakkan oleh dalang, sambil diiringi musik gamelan dan narasi cerita.
Dalam pertunjukan wayang kulit yang menggambarkan kisah Serat Dewa Ruci, proses pencarian Werkudara untuk menemukan air kehidupan ditampilkan secara dramatis, dengan karakter-karakter lain yang berperan sebagai penguji atau penuntun dalam perjalanan tersebut. Wayang kulit menambah dimensi visual yang memperkaya pemahaman cerita, serta memberikan ruang bagi penonton untuk meresapi nilai-nilai yang terkandung dalam lakon ini.
Artikel Khazanah lain di Lentera Budaya yang menarik untuk dibaca:
- Pane Na Bolon: Dewa Penguasa Alam dalam Mitologi Batak
- Sisa-sisa Situs Kebudayaan Buni di Bekasi
- Situs Bekas Kabupaten Sidayu, Tinggal Onggokan Puing
Penerjemahan ke Dalam Prosa
Sebelum Tan Khoen Swie menerbitkan versi tembang Macapat Serat Dewa Ruci, lakon ini juga pernah diterjemahkan dalam bentuk prosa oleh Mas Ngabei Mangundwija, seorang tokoh sastra asal Wonogiri, pada tahun 1922. Penerjemahan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih luas kepada pembaca yang tidak terbiasa dengan bentuk tembang Macapat atau yang lebih memilih bentuk sastra yang lebih langsung dan mudah dipahami.
Melalui penerjemahan prosa ini, kisah Dewa Ruci dapat dinikmati oleh lebih banyak kalangan, dan juga memberikan akses yang lebih mudah bagi mereka yang ingin memahami nilai-nilai kehidupan yang terkandung dalam cerita tersebut. Penerjemahan ini bukan hanya sekadar alih bahasa, tetapi juga merupakan upaya untuk menjembatani antara tradisi sastra lisan dengan kebutuhan sastra tertulis yang lebih modern pada masa itu.
Transliterasi:
/I . lembute, salémbuting banyu, isih lembat kamuksan iki, langkung alit kamuksan, saaliting tengu, pan ish alit kamuksan, liring luwih amisesa ing sakalir, living lembut alitnya//
//Bisa nuksma ing agal lan alit, kalimput tan sagung kang rumangkang, gumrèmet uga tanpa he, kaluwihan satuhu, luwih dening ingkang nampani, tan kena ngandéléna, ing warah lan wuruk, den sanget pangudinira, raganira wasuhen praptanya ngungkih, wruha rungsiting tingkah//
// Wuruk iku kang minangka wiji, kang winuruk upamane papan, anglir kacang lan kadhele, sinebar munggwing watu, yen watune datanpa siti, kodanan kapanasan, yekti nora thukul, lamun uwis wicaksana, tingalira sirakna ananireki, dadi tingaling suksma//
//Rupa lawan swaranira nuli, ulihena mring kang duwe swara, jer sira mung ngaken bae, sesulih kang satuhu, nanging haywa darbe sireki, pakarèman lyanira, saka ing Hyang Agung, dadi sarira Pangeran, obah mosikira wus dadi sawiji, ywa loro anggépira//
//Lamun dadi anggèpira pesthi, yen ngrasa loro isih was-uwas, kêna ing rengu yektine, yen wus siji sawwjud, sakarënteg ing tyas sayekti, apa wis nedya ana, kang cinipta rawuh, (35) wis kawengku aneng sira, ing sajagad jer sira ingkang kinardi, gégênti den asagah//
I/ Yen wus mudhing pratingkah puniki, den awingit lawan den asasab, andhap asor penganggone, nanging ing batinipun, ing sakedhap tan kêna lali, laire sasabana, kawruh patang dhapur, padha anggépèn sadaya, kalimane kang siji iku permati, kanggo ing kene kana//
//Lire mati sajroning ngaurip, iya urip sajroning palastra, nanging urip salawase, kang mati iku napsu, badan lair ingkang nglakoni, katampan badan nyata, pamore sawujud, pa gene ngrasa matia, Wrekodhara ing tyas padhang anampani, inggih ingkang nugraha//
//Lir sasangka katawengan riris, praptaning wahyu ngima nirmala, sumilak ilang règède, Dewa Ruci amuwus, andikane manis aririh, tan ana aji paran, kabeh wis kawengku, tan ana kang kaulapan, kaprawiran kadigdayan wis kawingking, sagung rehing ngayuda//
// Telas wulangnya sang Dewa Ruci, Wrekodhara ing tyas datan kewran, wus wruh mning gamane dhewe, hardaning swara muluk, tapa elar anjajah bangkit, sawengkon jagad raya, sagung wus kawengku, mati pamardining basa, saenggane sekar maksih kudhup lami, mangkya sekar ambabar// //Wimbuh war…//
Makna dan Nilai dalam Serat Dewa Ruci
Kisah Serat Dewa Ruci mengandung berbagai nilai kehidupan yang sangat relevan dengan perjalanan spiritual setiap individu. Pencarian air pemberi kehidupan adalah simbol dari pencarian akan kebijaksanaan, kesadaran batin, dan pemahaman yang lebih dalam tentang dunia dan diri kita sendiri. Dalam cerita ini, tidak hanya Werkudara yang diuji, tetapi pembaca atau pendengar juga diajak untuk merenung dan menggali makna kehidupan.
Cerita ini mengajarkan tentang pentingnya pengendalian diri, kerendahan hati, dan ketekunan dalam menghadapi tantangan hidup. Selain itu, Serat Dewa Ruci juga mengingatkan kita tentang pentingnya mencari kebenaran dan kebijaksanaan dalam hidup, yang seringkali hanya dapat ditemukan setelah melalui pencarian yang panjang dan penuh dengan ujian.
Kesimpulan
Serat Dewa Ruci adalah salah satu karya sastra Jawa yang kaya akan makna dan penuh dengan filosofi hidup. Lewat penerbitan oleh Tan Khoen Swie pada tahun 1926, serta terjemahan prosa oleh Mas Ngabei Mangundwija, cerita ini semakin dikenal luas dan dipahami oleh banyak orang. Dengan penggunaan tembang Macapat, wayang kulit, dan penerjemahan prosa, Serat Dewa Ruci berhasil menyampaikan pesan-pesan moral yang mendalam dan memberikan gambaran tentang pencarian spiritual yang abadi dalam kehidupan manusia.