Masjid Merah Cirebon atau Masjid Abang Panjunan boleh dipercaya sebagai yang tertua di antara masjid-masjid utama kerajaan-kerajaan Islam di Pulau Jawa. Di tempat inilah, syahdan, para wali menyebarkan Islam, jauh sebelum mereka memanfaatkan Masjid Agung Demak.
Bukti-bukti sejarah yang menunjukkan kebesaran masa lalu Cirebon memang belum banyak dikenal orang. Setidaknya bagi mereka yang berasal dari luar kota Cirebon. Padahal, di situ terdapat peninggalan yang menghubungkan Kota Udang masa lalu, sebagai salah satu kerajaan Islam terbesar di Indonesia. Yaitu adanya tiga buah keraton: Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan, beserta peninggalan masjid-masjid tuanya.
Peninggalan-peninggalan tersebut dulunya adalah tempat awal-awal penyebaran Islam. Dan, salah satu masjid kuno yang paling terkenal di Cirebon ialah Masjid Agung Sang Cipta Rasa, di Alun-alun Kasepuhan, depan Kompleks Keraton Kasepuhan Cirebon.
Masjid Merah Cirebon atau Masjid Abang Panjunan
Satu masjid kuno lainnya, memang tidak sebesar dan setenar Masjid Agung Sang Cipta Rasa, terselip di tengah perkampungan padat di pusat kota. Persisnya, terletak di antara permukiman penduduk di Jalan Panjunan, Kelurahan Panjunan, Kecamatan Lemahwungkuk, kota Cirebon. Nama resmi masjid ini, Masjid Al-Athyah, “yang dikasihi”. Namun masyarakat Cirebon menyebutnya Masjid Abang Panjunan atau Masjid Merah Panjunan, karena bangunannya terbuat dari susunan batu bata merah.
Dilihat dari sisi arsitektural, masjid ini sepertinya merefleksikan “keaslian” Cirebon. Dinding dan pagar luar yang berbentuk semacam benteng terbuat dari bata merah. Pintu gerbang masuknya mengingatkan kita pada gerbang Keraton Majapahit di Mojokerto, Jawa Timur, atau pintu gerbang pura di Bali. Di dindingnya ditempelkan ornamen khas dari piring-piring keramik asal Eropa dan Cina. Semua itu memperlihatkan bahwa Cirebon sudah sejak dahulu kala menjadi pertemuan berbagai budaya dan etnis.
Sayangnya, tidak banyak penelitian ilmiah yang dilakukan untuk mengorek kekayaan khazanah sejarah masjid tua ini. Kisahnya banyak bersumber dari cerita-cerita lisan. Seperti yang dituturkan Juru Kunci Masjid Merah, Ujang Zahri, masjid tua itu dibangun tahun 1460, atau 15 tahun sebelum Kesultanan Demak berdiri pada 1475, atau 17 tahun sebelum Kesultanan Cirebon berdiri pada 1478. Dari kisah turun-temurun, seperti yang didapatkan juru kunci kelahiran 15 Juni 1925 ini, Masjid Merah Panjunan dibangun bersama oleh Wali Songo.
Di tempat inilah, syahdan, para wali berunding untuk mengatur strategi penyebaran agama Islam, jauh sebelum mereka memanfaatkan Masjid Agung Demak. Pak Ujang yakin, Masjid Merah Panjunan adalah masjid tertua di antara masjid-masjid utama kerajaan-kerajaan Islam di Pulau Jawa. “Masjid ini yang pertama kali dibangun, setelah itu berturut-turut Masjid Sang Cipta Rasa, Masjid Astana Gunung Jati, dan Masjid Agung Demak,” ujarnya.
Bangunan utama Masjid Merah Panjunan berukuran panjang 20 meter, membujur dari timur ke barat, dan lebar 18 meter dari utara ke selatan. Masjid tersebut dikelilingi “benteng” sepanjang 25 meter dan 23 meter. Di sudut kiri depan masjid terletak menara yang sekilas mengingatkan kita pada Menara Masjid Kudus di Jawa Tengah. Pilar-pilar penyangga bangunan utama terbuat dari kayu jati bermutu tinggi yang dipelitur mengkilap.
Seluruh bagian bangunan, mulai dari pilar-pilar penyangga hingga dinding bata merah dan ornamen keramik, adalah asli sebagaimana pada saat masjid itu dibangun lebih dari 540 tahun yang lalu. “Yang baru hanyalah sarana listrik dan benda-benda elektronik, seperti jam dinding, pengeras suara, serta karpet dan tikar yang diganti secara berkala,” ujar Pak Ujang lagi.
Artikel Khazanah lain yang menarik untuk dibaca:
Masjid Al-Athyah Dibagi Dua
Keunikan Masjid Al-Athyah terletak pada ruangan utamanya yang dibagi menjadi dua dengan ukuran luas yang relatif sama. Ruangan bagian depan berbentuk seperti beranda, digunakan untuk kegiatan ibadah shalat lima waktu, termasuk shalat Jumat. Dengan ruangan kedua, bagian ini dipisahkan oleh sebuah dinding permanen, yang terbuat dari bata merah dan berornamen piring dari keramik. Kedua ruangan dihubungkan sebuah pintu kecil.
Ruangan di sebelah dalam tersebut, konon, dulunya adalah tempat musyawarah Walisanga, di tengah masyarakat yang sebagian besar masih beragama Hindu. Ruangan yang berada tepat di bawah limasan atap masjid selalu tertutup. Pintu menuju ruangan tersebut hanya dibuka dan digunakan untuk dua acara khusus: untuk shalat ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha.
Berziarah ke kota Cirebon sesungguhnya mengasyikkan: banyak kekayaan sejarah penyebaran Islam yang dapat dinikmati. Seperti tiga bangunan keraton, yaitu Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan. Kemudian beberapa bangunan masjid tua, seperti Masjid Jagabayan di Jalan Karanggetas, Masjid Merah di Panjunan, dan Masjid Pajlagrahan di Jalan Mayor Sastraatmaja.
Selain itu, salah satu situs peninggalan Keraton Kasepuhan, yakni Taman Goa Sunyaragi di Jalan Brigjen Soedarsono, juga layak dilihat. Bekas taman air, tempat rekreasi keluarga Kesultanan Cirebon, dan tempat evakuasi keluarga sultan di masa perang kemerdekaan, juga masih bisa dinikmati. Belum lagi yang berbentuk bangunan zaman kolonial, seperti Gedung BAT (British American Tobacco) di Jalan Pasuketan, atau Gedung Bank Indonesia di Jalan Yos Sudarso.
Berziarah ke tempat-tempat bersejarah, memang sangat menyenangkan. Apalagi jika berkaitan dengan yang bernuansa keagamaan. Sebab ziarah tersebut juga dimaksudkan untuk kembali mengenang fungsi sebuah tempat di masa lalu. Maka jika berziarah ke masjid-masjid tua, seperti di kota Cirebon ini, sebaiknya kita tidak hanya memperhatikan bangunan fisiknya, tapi lebih dari itu: dimensi sejarahnya sangat patut kita pahami.
Dan, jika ditelusuri secara lebih jauh, setidaknya kita bisa melihat bagaimana masjid-masjid bersejarah tidak melulu menjadi tempat melaksanakan kewajiban “ritual”. Masjid-masjid itu oleh para wali tempo dulu juga digunakan sebagai tempat untuk merencanakan dan membangun peradaban umat. Bahkan, menurut berbagai sumber sejarah, di masjid itulah berbagai pemecahan masalah sosial kemasyarakatan dilakukan para wali.