Seni Tayub yang mulai terpinggirkan di Tuban karena tergusur dangdut Koplo, dan para Sindir pun kian tak populer. Dulu di Kota Tuak ini, tayub cukup memasyarakat. Tak jarang tradisi seni tradisional itu ditampilkan, terutama di acara warga saat punya jahat pernikahan atau khitanan.
Kini popularitas musik dangdut koplo berdampak negatif terhadap seni tayub. Kondisi ini tentu juga berdampak kurang bagus bagi para sindir, seniman tayub. Dulu selain Tuban, Nganjuk, termasuk daerah yang seni tayubnya tumbuh dan berkembang.
Sindir, Seniman Tayub
Sebagai seniman tayub, para sindir pun diidolakan. Mereka memiliki penggemar masing-masing. Namun, akhir-akhir ini keberadaan tayub tak semoncer dulu. Tayub saat ini hanya bisa eksis di wilayah pinggiran. Itu pun, di momen-momen tertentu, seperti sedekah bumi. Saat ini orang kalau punya hajat lebih suka menanggap dangdut koplo atau elekton daripada tayub.
Memang, kalangan muda Tuban, terutama yang di kota, saat ini tak banyak yang mengenal sindir. Mereka lebih mengenal penyanyi dangdut, meski berasal dari luar Tuban dan belum menasional. Faktor lain penyebab terus menurunnya popularitas tayub adalah keberadaan sindir yang sering diidentikkan dengan wanita penggoda.
Image negatif ini sering dijadikan alasan untuk mendeskreditkan para sindir, sehingga kian “dijauhi” penggemarnya. Alasan seperti itu mungkin saja tidak mengandung kebenaran. Kalau dibandingkan dengan goyangan penyanyi dangdut saat ini, para sindir sebenarnya tidak ada apa-apanya. Tapi nyatanya justru dangdut yang lebih populer.
Memang, itulah realitas yang harus dihadapi para sindir. Bahkan, diduga karena image negatif itu pula kebanyakan sindir gagal mempertahankan biduk rumah tangganya. Sebagian besar sindir memulai karirnya di saat masih lajang. Setelah menikah, saat sudah menjadi sindir, biasanya permasalahan keluarga muncul.
Kebanyakan, permasalahan ini muncul karena sang suami kemudian tidak bisa menerima atau mengerti profesi isterinya sebagai sindir. Ujung-ujungnya, mereka ke Pengadilan Agama untuk memproses perceraian. Faktor penyebab perceraian tersebut tak lain rasa cemburu buta (suami) yang berlebihan.
Karena image yang kurang bagus itulah, sindir dan tayub kian tak dikenal. Buntutnya, sindir dan para pangrawit (penabuh gamelan) tak bisa lagi hanya menggantungkan hidup (pendapatan) dari kesenian itu. Namun, bagi sebagian sindir, tayub tetap dunianya.
Seni itu indah. Tak pantas dinodai dengan kepentingan pribadi atau golongan. Apalagi, hanya untuk kepentingan sesaat. Kalaupun ada noda, itu sepenuhnya karena faktor orang per orangnya, bukan pada seninya.
Informasi tradisi budaya lainnya: Prosesi Pernikahan Adat Sunda
Pelestarian Kesenian Tayub
Pemerintah kabupaten Tuban terus berupaya melestarikan budaya seni tayub. Salah satunya, dengan menggelar agenda tetap setiap tahun berupa ritual siraman seniman langen tayub. Ritual ini dilakukan di mata air Bektiharjo, Semanding. Dalam acara ritual tersebut, tidak hanya para sindir, tetapi para pengrawit juga ikut menjalani siraman.
Selain untuk tetap memopulerkan tayub, ritual itu juga untuk membersihkan diri para seniman tayub dari berbagai godaan yang bisa menodai nilai-nilai seni tayub. Bahkan, agar kesan negatif bisa dihilangkan, sebutan sindir saat ini telah diganti dengan waranggana. Jumlah waranggana yang aktif di Tuban saat ini sekitar 93 orang, sedangkan dulu mencapai ratusan orang.