Poda Sagu-Sagu Marlangan merupakan sebuah pesan (wasiat) penting dalam suku Batak yang bertujuan untuk menyatukan dan mencegah terjadinya pertengkaran antara dua keluarga besar yang memiliki garis keturunan yang sangat erat. Tradisi ini melibatkan simbolisme, ritual, dan wasiat yang disampaikan oleh Raja Silahisabungan kepada keturunannya untuk memastikan persatuan dan keharmonisan antar anggota keluarga, serta untuk menghindari konflik yang dapat merusak ikatan keluarga besar. Berikut ini adalah penjelasan lebih lanjut mengenai Poda Sagu-Sagu Marlangan:
Latar Belakang Poda Sagu-Sagu Marlangan
Poda Sagu-Sagu Marlangan diadakan dalam konteks sejarah dan mitologi Batak, khususnya untuk menyelesaikan potensi konflik yang bisa muncul antara keturunan Raja Silahisabungan dan keturunan Si Raja Tambun. Dalam tradisi Batak, pernikahan antar keturunan dalam satu keluarga besar (suku) seringkali dilarang atau diatur dengan ketat agar tidak terjadi pertentangan atau perpecahan. Hal ini berkaitan dengan aturan-aturan adat yang mendorong agar hubungan kekerabatan tetap terjaga dalam keharmonisan.
Menurut cerita, Raja Silahisabungan ingin memastikan bahwa kedamaian tetap terjaga antara keturunannya dan keturunan Si Raja Tambun. Oleh karena itu, ia mengadakan upacara Poda Sagu-Sagu Marlangan untuk menegaskan ikrar bersama dan memperkuat ikatan persaudaraan di antara mereka.
Ritual Poda Sagu-Sagu Marlangan
Pada awalnya, Raja Silahisabungan memerintahkan istrinya, Pinggan Matio, untuk menempa sebuah Sagu-Sagu Marlangan—sejenis patung atau simbol berbentuk manusia—yang kemudian diletakkan di dalam sebuah ampang (bakul). Patung atau Sagu-Sagu Marlangan ini memiliki makna simbolis sebagai wadah perwujudan manusia, yang mewakili semua anggota keluarga yang terlibat dalam ikrar tersebut.
Setelah Sagu-Sagu Marlangan ditempa, Raja Silahisabungan memanggil seluruh putra-putrinya dan istrinya untuk berkumpul di sekitar patung tersebut. Di hadapan mereka, ia menyampaikan wasiat atau pesan penting untuk menjaga keharmonisan dan mencegah pertikaian antar keturunan, khususnya antara keturunan Raja Silahisabungan dan keturunan Si Raja Tambun.
Isi Wasiat Raja Silahisabungan
Wasiat yang disampaikan Raja Silahisabungan memiliki pesan yang sangat jelas mengenai pentingnya persatuan dan cinta kasih di antara keturunan mereka. Beberapa poin penting dalam wasiat ini adalah:
- Persatuan dan Kasih Sayang
Raja Silahisabungan menegaskan agar kedelapan anaknya saling mencintai dan menjaga hubungan baik antar mereka. Keluarga besar ini harus saling mendukung, tanpa ada konflik atau perselisihan. Terlebih lagi, ia mengingatkan agar keturunan mereka tidak saling menikah di antara mereka, terutama antara keturunan mereka yang tujuh dan keturunan Si Raja Tambun. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya keretakan dalam hubungan keluarga besar. - Penghormatan Antar Keturunan
Dalam wasiat tersebut, Raja Silahisabungan juga meminta agar keturunan mereka saling menghormati dan menjaga hubungan baik dengan keluarga besar Si Raja Tambun. Ia menekankan agar keturunan dari tujuh abang lebih menyayangi dan menghormati putri-putri dari adik mereka, Si Raja Tambun. Sebaliknya, Si Raja Tambun dan keturunannya juga diminta untuk memperlakukan putri-putri dari ketujuh abang dengan kasih sayang dan penghormatan. - Menghindari Pertikaian
Raja Silahisabungan sangat menekankan pentingnya untuk tidak memulai pertikaian atau selisih paham di kemudian hari. Jika ada perselisihan, maka keturunan mereka harus mampu menyelesaikannya sendiri secara adil, tanpa melibatkan pihak luar. Hal ini menunjukkan pentingnya menjaga kedaulatan dan keharmonisan internal keluarga. - Tanggung Jawab Bersama
Wasiat tersebut juga menegaskan bahwa keluarga besar harus saling menjaga dan tidak menyalahkan satu sama lain, serta selalu mendukung kebersamaan dan kedamaian dalam kehidupan sehari-hari. Bila terjadi konflik, harus ada pihak di dalam keluarga yang menjadi hakim yang adil, bukan pihak luar.
Pesan (wasiat):
Hamu Anakku Na Ualu (Wahai kedelapan puteraku)
- Ingkon masihaholongan ma hamu sama hamu ro di pomparanmu, sisada anak sisada boru na so tupa masiolian, tarlumobi pomparanmu na pitu dohot pomparan ni si Raja Tambun on. (Kalian harus saling mencintai antara kalian sendiri dan keturunan kalian sebagai satu kesatuan dan tidak boleh saling menikah antara mereka, terutama keturunan kalian bertujuh dan keturunan si Raja Tambun ini.)
- Ingkon Humolong rohamu na pitu dohot pomparanmu tu boru pomparan ni anggimu Si Raja Tambun on, suang songon i nang ho Raja Tambun dohot pomparanmu ingkon humolong roham di boru pomparan ni haham na pitu on. (Kalian bertujuh harus lebih menyayangi putri-putri dari adik kalian si Raja Tambun ini, begitu juga engkau Raja Tambun dan keturunanmu harus lebih menyayangi putri dari ketujuh abangmu dan keturunan mereka ini.)
- Tongka dohononmu na ualu na so saama saina hamu tu pudian ni ari. (Jangan pernah mengatakan di kemudian hari bahwa kalian berdelapan tidak berasal dari satu ayah.)
- Tongka pungkaon bada manang salisi tu ari na naeng ro. (Jangan pernah memulai pertikaian atau selisih paham antar kalian di kemudian hari.)
- Molo adong parbadaan manang parsalisihan di hamu, ingkon sian tonga-tongamu ma si tapi tola, sibahen uhum na tingkos na so jadi mardingkan, jala na so tupa halak na hasing pasaehon. (Apabila ada pertikaian atau perselisihan di antara kalian, harus dari antar kalian sendiri yang menjadi hakim yang adil, dan jangan sampai orang lain yang menyelesaikan pertikaian itu.)
Ikrar Kesetiaan dan Doa Bersama
Setelah Raja Silahisabungan menyampaikan wasiat tersebut, ia meminta kepada masing-masing anaknya untuk menyentuh atau menjamah Sagu-Sagu Marlangan sebagai tanda pengakuan dan kesetiaan terhadap wasiat yang telah disampaikan. Setiap anak diminta untuk mengikrarkan sumpah atau doa, yang pada dasarnya mengharapkan kekuatan dan berkah dari Sang Pencipta agar mereka dan keturunan mereka mampu melaksanakan wasiat ayah mereka dengan baik. Doa yang diucapkan adalah:
“Sai dipargogoi Mulajadi Na Bolon ma hami dohot pomparan nami mangulahon poda na nilehonmi amang”,
yang berarti, “Semoga Sang Pencipta menguatkan kami dan seluruh keturunan kami dalam melaksanakan wasiat ayah kami.”
Jangan sampai ketinggalan informasi Tradisi Nusantara di Lentera Budaya:
- Ritual Mangelek Ompu Raja Tao Toba
- Mangongkal Holi: Budaya Suku Batak Toba untuk Menghormati Leluhur
- Rumitnya Adat Batak Toba di Setiap Acara Besar. Benarkah?
Peringatan bagi yang Melanggar Wasiat
Di akhir acara, Raja Silahisabungan memberikan peringatan tegas bahwa siapa pun yang melanggar wasiat tersebut akan menghadapi nasib buruk. Ia menyatakan bahwa mereka yang melanggar akan bernasib seperti Sagu-Sagu Marlangan, yang tidak memiliki keturunan dan hilang tanpa bekas—artinya, mereka akan terputus dari garis keturunan dan kehilangan warisan keluarga.
Peringatan ini memberikan tekanan kuat bagi anggota keluarga untuk menjaga kesetiaan terhadap wasiat yang telah disepakati bersama dan memastikan bahwa mereka menjalankan kehidupan dengan penuh keharmonisan, tanpa mengorbankan nilai-nilai yang telah diwariskan oleh leluhur mereka.
Makna dan Relevansi Poda Sagu-Sagu Marlangan
Tradisi Poda Sagu-Sagu Marlangan memiliki makna yang sangat dalam bagi masyarakat Batak, terutama dalam konteks hubungan antar keluarga besar dan generasi penerusnya. Wasiat Raja Silahisabungan mengajarkan tentang pentingnya persatuan, kasih sayang, dan rasa hormat antar keturunan, serta tanggung jawab bersama dalam menjaga keharmonisan keluarga.
Di sisi lain, upacara ini juga menggambarkan betapa kuatnya pengaruh simbolisme dalam budaya Batak. Sagu-Sagu Marlangan, sebagai simbol dari manusia, menggambarkan pentingnya setiap individu dalam keluarga besar, dan bagaimana mereka saling terhubung satu sama lain dalam suatu kesatuan yang tak terpisahkan.
Dengan demikian, Poda Sagu-Sagu Marlangan bukan hanya sebuah ritual adat, tetapi juga merupakan pengingat akan pentingnya menjaga persatuan, kedamaian, dan keharmonisan dalam keluarga dan masyarakat. Hingga kini, tradisi ini tetap dipertahankan sebagai bagian dari warisan budaya Batak yang mendalam dan bermakna.