Pendirian masjid diprakarsai K.G.P.A.A. Mangkunegara I di Kadipaten Mangkunegaran sebagai masjid Lambang Panatagama. Pengelolaannya hingga kini dipegang para abdi dalem.
Bangunan dengan mahkota kubah dan dilengkapi menara yang menjulang itu tampak berdiri kokoh. Bangunan tersebut menghampar di antara luasnya halaman yang sudah ditutup paving serta bangunan-bangunan kecil yang berada di beberapa sudut. Sebentuk relief kaligrafi melengkung ke atas menghiasi gapura yang menjadi pintu gerbang utama menuju tempat itu. Sementara di balik gapura, menghadap ke dalam, terdapat hiasan relief tulisan dari huruf Arab dengan bentuk yang sama.
Pemandangan seperti itulah yang terhadirkan saat kita memasuki Masjid Al-Wustho Pura Mangkunegaran, di kawasan Jalan Kartini, Kelurahan Ketelan, Kecamatan Banjarsari, Surakarta.
Masjid Al-Wustho, demikian masyarakat menyebut masjid ini, merupakan salah satu tempat ibadah yang telah berumur seratus tahun lebih. Menurut buku Masjid Al-Wustho Mangkunegaran Surakarta, masjid tersebut dibangun pada masa Pura Mangkunegaran diperintah Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (K.G.P.A.A.) Mangkunegara VII, antara tahun 1916 sampai 1944.
Namun, masih menurut buku itu, peletakan batu pertama sudah dilakukan jauh-jauh hari sebelumnya, yakni pada 1878. Dengan demikian, jika dihitung dari batu pertama diletakkan hingga selesai (pada 1918), diperlukan waktu pembangunan tak kurang dari 40 tahun. Itu berarti, pada tahun ini, umur masjid tersebut telah mencapai hampir 130 tahun.
Posisi Antara
Nama Al-Wustho mengandung makna tertentu. Menurut Mas Ngabei (M.Ng.) H. Mu’nin Fatoni, salah seorang pengurus masjid, Al-Wustho berarti “tengah”, atau “pertengahan”. Disebut demikian karena besarnya menempati posisi antara, berada di antara dua ukuran, alias berukuran sedang: tidak sebesar Masjid Agung di Keraton Kasunanan Surakarta (Masjid Agung atau Masjid Gede, terletak di seberang Pasar Klewer), tetapi juga tidak sekecil Masjid Kepatihan di kompleks Kepatihan.
Bangunan Al-Wustho, yang dirancang oleh Thomas Karsten dan didirikan tahun 1878-1918, walaupun tampak sebagai arsitektur bangunan Jawa, tetap saja masih terlihat banyak pengaruh gaya kolonial. Gapura halaman masjid dibuat tahun 1917-1918, dengan dinding berhiaskan relief kaligrafi huruf Arab. Nama Al-Wustho pertama kali diperkenalkan pada 1949 oleh Penghulu Pura Mangkunegaran, Raden Tumenggung K.H. Imam Rosidi.
Pendirian masjid tersebut diprakarsai oleh K.G.P.A.A. Mangkunegara I di Kadipaten Mangkunegaran sebagai masjid Lambang Panatagama. Sebelumnya, masjid ini terletak di wilayah Kauman, Pasar Legi. Pemindahan ke wilayah Banjarsari dilakukan pada masa Mangkunegara II, dengan pertimbangan letak masjid yang strategis dan dekat Pura Mangkunegaran. Pengelolaan masjid dilakukan oleh para abdi dalem Pura Mangkunegaran, sehingga status masjid merupakan Masjid Pura Mangkunegaran.
Pemugaran besar-besaran atas Masjid Mangkunegaran ini terjadi pada saat pemerintahan Mangkunegara VII. Ia menggunakan jasa seorang arsitek dari Prancis untuk mendesain bentuk masjid ini.
Luas kompleks Masjid Al-Wustho sekitar 4.200 m2, dengan batas pagar tembok keliling, yang sebagian besar muka berbentuk lengkung. Ada serambi, merupakan ruangan depan masjid dengan saka atau tiang utama sebanyak 18, yang melambangkan umur R.M. Said ketika keluar dari Keraton Kasunan Surakarta untuk dinobatkan sebagai Adipati Mangkunegara.
Di serambi ini terdapat beduk yang bernama Kanjeng Kyai Danaswara. Bangunan maligen (mligi, artinya “khusus”) dibangun atas prakarsa Mangkunegara V, digunakan untuk melaksanakan khitanan bagi putra kerabat Mangkunegaran.
Sejak pemerintahan Mangkunegara VII, maligen diperkenankan digunakan oleh Muhammadiyah sebagai tempat khitanan masyarakat umum. Hiasan kaligrafi Al-Quran, yang dapat disaksikan di berbagai tempat (seperti pada pintu gerbang, pada markis atau kuncungan, tiang dan maligen), menjadikan tampilan Al-Wustho cukup menarik dan menimbulkan suasana yang nyaman.
Ruang shalat utama merupakan ruang dalam dengan empat saka guru, tiang utama, dan 12 penyangga pembantu yang berhias kaligrafi Al-Quran. Pawasteren merupakan bangunan tambahan yang dipergunakan untuk tempat shalat khusus wanita.
Menara dibangun tahun 1926, pada masa Mangkunegara VII. Fungsinya, tentu saja, untuk mengumandangkan adzan agar menggema sampai kejauhan. Pada waktu itu, dibutuhkan tiga hingga empat orang muadzin untuk adzan bersama-sama dalam menara, untuk menyeru ke empat arah yang berbeda.
Kegiatan ritual umat di Masjid Al-Wustho tak pernah putus. Yakni, tempat menjalankan ibadah shalat fardhu, tempat pengajian, dan juga acara-acara keagamaan lain. Memasuki bulan puasa, biasanya kegiatan keagamaan yang dilaksanakan di masjid yang mampu menampung 1.000 jamaah itu juga bertambah semarak.
Masjid Al-Wustho, yang berdiri di Jalan Kartini, Surakarta, termasuk salah satu masjid yang sudah tua, sehingga masjid tersebut sering dijadikan obyek penelitian.
Artikel Khazanah lain yang menarik untuk dibaca:
- Masjid dan Makam Sunan Muria: Hasil Toleransi Wali Pertapa
- Masjid dan Makam Sunan Kudus: Jejak Sayyid Ja’far Shaddiq, Panglima Perang Kesultanan Demak
- Misteri Suku Mante, Suku Asli Aceh yang Hidup dalam Hutan Belantara
Bakti Sosial
Dalam rangka memakmurkan masjid, sesuai dengan sunnah Rasulullah SAW, di Masjid Al-Wustho Mangkunegaran ini juga digelar berbagai kegiatan. Menyambut datangnya bulan suci Ramadhan, misalnya, ada acara berbuka dan sahur bersama, pengajian, dan tadarusan.
Acara makan sahur bersama di masjid ini juga unik. Kegiatan itu awalnya bertujuan untuk membantu para tukang becak yang akan melakukan ibadah puasa. Pada malam hari memang sering tukang becak menginap di sana.
Bakti sosial sebenarnya tidak hanya dilakukan pada bulan puasa. Pada hari-hari biasa pun, kegiatan serupa sering digelar. Hanya, pada bulan puasa lebih meningkat.
Wujud bakti sosial yang lain adalah dibukanya Klinik Dhuafa di masjid tersebut. Klinik yang buka setiap hari itu memang khusus untuk pasien dari keluarga kurang mampu. Karena itu, semua pelayanannya gratis.
Masjid Al-Wustho Mangkunegaran: Lebih 100 Tahun Dikelola Abdi Dalem